Isi pidato Presiden Soekarno berikut, telah mengingatkan kita kembali betapa kokohnya Dasar Negara Kebangsaan Indonesia menuju Negara Indonesia Merdeka. Semoga mampu memberikan dan membangun semagat juang baru untuk mempertahatankan filosofi dasar negara kita, NEGARA KESATUA REPUBLIK INDONESIA (NKRI). berikut terjemahan sederhananya sehingga lebih mudah dipahami...
Pidato Bung Karno Tanggal 1 Juni 1945 di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI) di Jakarta
***
Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!
Sudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan memenuhi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. untuk mengemukakakn dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakakn di dalam pidato saya ini.
Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato namun mereka itu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah-dalam “Philosofische grondslag” dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-tuan sekalian, apakah yang akan saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
“Merdeka” buat saya ialah political independence, politieke onafhankelijkhid.
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus terang saja saya berkata: Tatkala akan bersidang, maka di dalam hati saya khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang memperkaran hal yang kecill-kecil menjadi jelimet. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali Negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan Negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya! Alangkah berbedanya isi itu!
Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet!, maka saya bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu?
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adalah rakyat Musyik (paham yang percaya adanya Tuhan tapi tak beragama) yang lebih dari 80% tidak dapat membaca dan menulis. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, - sampai di lubang kubur!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya katakana di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibnu Saud mengadakan satu Negara di dalam satu malam – In one night only! – kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah ‘jembatan’ itu diletakkan oleh Ibnu Saud, maka di seberang jembatan itu barulah Ibnu Saud memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang orang Baduik yang tadinya bergelandangan diberi pelajaran oleh Ibn Saud, dikasih tempat kaum tani, - semuanya dilakukan di seberang jembatan.
Lenin, ketika dia mendirikan Negara Sovyet-Rusia Merdeka, apakah dia telah mempunyai Dneprprostoff, di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api untuk meliputi seluruh Negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia telah dapat membaca dan menulis? TIDAK, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat yang mengetahui sejarah, menjadi menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan riuh)
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, - kok lantas kita seolah-olah amat berat dan gentar hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar!
Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon[10] untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan ( Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang ) diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo ( Kepala Departemen Urusan Umum ) diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo (Kepala Departemen ) diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid – in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan Negara kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta berkata: “mangke rumiyin” – tunggu dulu – minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan Negara Indonesia Merdeka?
(Seruan: Tidak....! Tidak....!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan Negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan Negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah mantap untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambo runcing, Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia telah siap-sedia, mantap untuk Merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan.Ada yang berani lekas kawin, ada pula yang takut kawin.
yang takut kawin berkata: "Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu persak satu set, sudah mempunyai ini dan itu, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat , lantas satu tempat tidur, baru berani kawin. Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung,tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu lebih bahagia dibandingkan dengan Sarinem dan Samiun yang hanya mempunya satu tikar dan satu periuk, Saudara-saudara! Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk,
(Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, persoalannya sekarang adalah: "Apakah kita ini berani merdeka atau tidak?" – Inilah ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu Negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan". Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence – sampai kiamat pun kita belum dapatkan Indonesia Merdeka!
(Tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hati-nya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per satu.
Saudara-saudara! Seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita. Kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan emas inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang mahapenting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya hukum internasional menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu Negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang men-jelimet. Tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk. Cukup, Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu Negara lain yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu Negara merdeka, yaitu ada rakyatnya; ada buminya dan ada pemerintahannya – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar-philosofische grondslag atau Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan Negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka di atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national-sozialistische (filsafat nasional sosialisme). Lenin mendirikan Negara Sovyet di atas satu Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan Negara Dai Nippon di atas Tennoo Koodoo Seishin. Ibn Saud mendirikan Negara Arabia di atas satu Weltanschauung – yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama telah kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita sebelum Indonesia Merdeka datang. Maka sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno bahwa banyak sekali Negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.” di dalam kitabnya Ten days that shook the world (Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia) tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanscahuung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan. Kemudian – hanya dalam 10 hari, itulah didirikan Negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu.
Tidakkah pula Hitler demikian? Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan Negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini dapat menjelma dengan Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan Negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan Negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885 – kalau saya tidak salah – dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The three people’s principles, San Min Chu I – Mintsu, Minchuan, Min Sheng: nasionalisme, demokrasi, sosialisme – telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan Negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan – macam-macam – tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadi-koesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan. Kita bersama-sama mencari persatuan philosofische grondslag, mencari satu Weltanscahuung yang kita semua setuju. Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Sdr. Sanoesi setujui, yang Sdr. Abikoesno setujui, yang Sdr. Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak!
Baik Saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan Negara yang demikian itulah tujuan kita. Kita hendak mendirikan suatu Negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, – tetapi “semua buat semua”. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918 – 25 tahun lebih – ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita mendrikan satu Negara Kebangsaan Indonesia.
Sebagaimana yang dikatakan Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia. Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Ernest Renan, syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu atau “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. Kalau kita lihat definisi orang lain – yaitu definisi Otto Bauer[29] – Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib.
Tetapi kemarin pun, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, dan berkata: “Verouderd!” – “sudah tua”. Memang definisi Ernest Renan sudah sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab satu ilmu baru dari itu semua adalah dinamakan Geopolitik.
Kemarin Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Apakah tempat itu? Tempat itu adalah tanah air. Tahan air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Jikalau ia melihat peta dunia – ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pacific dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang Laut Pasific, adalah satu kesatuan. Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain – segenap kepulauan Yunani – adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia-lah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita!
Maka jikalah saya ingat perhubungan antara orang dan tempat – antara rakyat dan buminya – maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu.
Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa di Indonesia, yang paling ada “le desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le deir d’etre ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia – Natie Indonesia – bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik telah ditentukan oleh Allah s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusa 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat)
Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka d zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram – meskipun merdeka – bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten – meskipun merdeka – bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanudin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat. Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo[33], Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.
(Liem Koen Hian: “Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.”)
Kalau begitu, maaf saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara. Tetapi …….. tetapi ……….. memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity“. Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme“. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, sekeras-kerasnya supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, supaya sebagian besar utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan.
Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera? yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah politieke democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, — tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. "tiap-tiap orang mempunyai hak sama". Hak politik yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!
Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya ada keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat - atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban - Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan. Marilah kita menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik angka. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: “Pendawa Lima”).
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan - lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi namanya ialah PANCASILA. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme ato sosio-demokrasi. Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan keTuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong !
(Tepuk tangan riuh rendah).
“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo - satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh rendah).
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. itulah harus Weltanschauung kita.
Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan - menjadi realiteit - jika tidak dengan perjuangan!
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, –janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko - tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, merdeka atau mati”!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo.
Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin)