Jumat, 24 Juni 2011

Antara Manajer, Pimpinan, dan Pemimpin


“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”
Kata “manajemen” adalah pengindonesian dari kata Bahasa Inggeris “management”, artinya “pengelolaan”; berasal dari kata dasar “to manage”, artinya “mengelola”. Maka “manager” yang diindonesiakan menjadi “manajer” artinya adalah “pengelola”. Beragam definisi manajemen. Tetapi ada satu definisi yang saya tidak setuju, yaitu “management is how to get things done through other people” (=Manajemen adalah bagaimana caranya menyelesaikan berbagai hal melalui orang-orang lain). Secara sederhana: Management is the process of managing and utilizing available resources to achieve a certain goal in line with pre-defined success criteria (= manajemen adalah suatu proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan).
Apa beda antara manajer, pimpinan, dan pemimpin? Memang batasannya sering kabur, cuma beda-beda tipis. Seseorang bisa saja disebut manajer, pimpinan, sekaligus pemimpin. ‘Pimpinan’ adalah orang yang diberi jabatan dalam suatu institusi formal (pemerintahan, perusahaan, orpol, ormas) melalui semacam surat keputusan oleh eselon yang lebih tinggi di atasnya. Manajer’ hanyalah nama salah satu jabatan dalam lini pimpinan. Kalau di instansi swasta nama-nama jabatan lain dalam lini pimpinan bisa general manager, vice-president, president, direktur, managing director, CEO, dan lain-lain. Kalau di pemerintahan bisa kepala dinas, kepala kantor wilayah, kepala daerah, direktur jenderal, menteri, dan lain-lain. Sedangkan pemimpin’ artinya orang yang memimpin; sifatnya lebih umum, bisa dalam institusi formal bisa juga dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Jadi seorang pemimpin belum tentu memiliki posisi sebagai pimpinan. Sebaliknya, seorang pimpinan belum tentu memiliki watak sebagai seorang pemimpin. Bingung? Saya juga bingung kok.
Seorang pemimpin sejati biasanya memiliki watak kepemimpinan sejak terlahir – given. Makanya ada yang mengatakan beda antara pemimpin dan pimpinan itu adalah: pemimpin mengerjakan hal-hal yang benar, sedangkan pimpinan mengerjakan sesuatu dengan benar. Leaders do right things, managers do things right. Beberapa sifat menonjol pada diri seorang pemimpin sejati: karismatik, berpendirian teguh, berani mengambil resiko (karena teguh pendirian), berorientasi pada orang banyak (people oriented), mampu mengorganisir dan mengendalikan massa dalam jumlah banyak, piawai berpidato di depan publik, pandai berdiplomasi, visioner, serta memiliki insting peka dalam mengambil keputusan.
Sumber daya apa saja yang dikelola oleh seorang pimpinan? Tergantung karakteristik bisnis di tempat dia bekerja. Kalau di pabrik, sumber daya yang dikelolanya antara lain sumber daya manusia (SDM), sumber daya keuangan, sumber daya kapital (mesin industri), sumber daya bahan baku (bisa sumber daya alam, jika industrinya berbasis sumber daya alam), dan berbagai sumber daya pendukung lainnya. Kalau di instansi jasa seperti asuransi dan perbankan tentunya sumber daya yang dominan adalah SDM, keuangan, dan sumber daya pendukung seperti teknologi informasi (IT). Apa tugas pimpinan sehari-hari? Sesuai dengan definisi yang saya tawarkan di atas, seorang pimpinan itu mengelola dan memanfaatkan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu.
Tipikal pekerjaan manajerial sehari-hari mirip dengan “metode ilmiah” yang dulu kita pelajari di bangku SMP – filosofinya sederhana. Kalau saya rumuskan ulang:
(1)    Mengenali dan mengerti proses bisnis (business process) dari A sampai Z untuk wilayah yang berada di bawah wewenangnya.
(2)    Mengenali kendala dalam mata rantai proses bisnis.
(3)    Memahami symptom/gejala yang diakibatkan oleh kendala tersebut.
(4)    Mencari akar penyebab timbulnya kendala.
(5)    Mencari beberapa alternatif solusi.
(6)    Memutuskan solusi terbaik.
(7)    Membuat rencana aksi (action plan) lalu mengeksekusinya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Pekerjaan manajerial harus efisien, artinya dengan memanfaatkan sumber daya seminimum mungkin, waktu sesingkat mungkin, dan biaya serendah mungkin diperoleh hasil semaksimal mungkin. Usaha perbaikan terus menerus (continuous improvement) agar proses bisnis lebih efisien juga merupakan tugas manajerial.  Seorang pimpinan dituntut visioner, artinya memiliki pandangan ke depan. Dia harus tahu apa saja kendala yang mungkin terjadi untuk setiap alternatif keputusan yang akan diambilnya. Sedapat mungkin yang namanya kendala itu bisa dihindarkan jauh hari, sehingga tidak sempat mengganggu proses bisnis. Jika seorang pimpinan tidak visioner, tak ubahnya sama saja dengan melakukan pekerjaan klerikal. Disinilah dituntut kemampuan perencanaan (planning) agar proses bisnis yang dijalankannya makin hari makin bertambah baik tingkat kompetensinya. Dalam teori manajemen klasik dikenal istilah POAC:
Ø  planning, membuat rencana kerja;
Ø  organizing, mengorganisir SDM yang berada di bawah rentang kendalinya, sekaligus membagi tugas (job description) sesuai kompetensi masing-masing individu;
Ø  actuating, melaksanakan apa yang telah direncanakannya; dan
Ø  controling, menjalankan fungsi kontrol/audit agar pelaksanaan yang dijalankan taat azas serta dapat mencapai target sesuai rencana.
Pimpinan juga mesti kreatif dan inovatif, penuh dengan ide-ide dan terobosan baru agar suasana kerja di dalam divisinya bergairah – tidak membosankan, sehingga tidak terjadi idle capacity atau ‘pengangguran terselubung’ di jajaran SDM yang berada di bawahnya. Pada tahap awal bekerja, seseorang biasanya lebih sibuk mengurusi pekerjaanya sendiri sesuai dengan bidang atau disiplin yang ditugaskan. Interaksi dengan orang lain masih minim, karena sifat pekerjaannya memang masih demikian. Fase ini disebut “managing work” – mengelola pekerjaannya sendiri. Seiring dengan waktu, ketika kompetensinya bertambah, dipromosikan, dan dia mulai memiliki beberapa orang bawahan, maka dia harus pandai mengelola orang-orangnya. Dia mulai berinteraksi dengan banyak orang. Lingkup tugas makin meluas. Pekerjaannya sudah multi disiplin, satu sama lain saling ketergantungan (interdependent) dalam sebuah tim kerja (team work). Tahapan ini disebut “managing people” – mengelola sumber daya insani. Pada tahapan lebih lanjut lagi, dimana dia makin menapaki jenjang karir, terekspos dengan berbagai permasalahan yang lebih makro, serta harus mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan (baik internal maupun eksternal), maka dia harus mampu mengelola perubahan itu – atau “managing changes”.
Dunia senantiasa berubah. Orang bijak mengatakan, “Tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri.” Maka seorang pimpinan yang pro status quo atau yang hanya bermain di zona nyaman (comfort zone) bukanlah tipe pimpinan yang ideal. Instansi di tempat dia bekerja akan mandeg. Jika instansinya bersifat badan usaha (profit oriented), bisa-bisa ditenggelamkan oleh pesaingnya. Di dalam setiap perubahan senantiasa ada peluang (opportunities), tantangan (challenges), dan ancaman (threats) yang semuanya harus dikelola secara baik dan benar. Dalam memaknai perubahan ini, ada jargon manajemen yang mengatakan, “There are three types of people: those who make things happen, those who watch things happen, and those who wonder what happen.” Ada tiga tipe orang: yang membuat berbagai hal terjadi, yang hanya sekedar mengamati apa yang terjadi, dan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Menurut salah satu pelatihan, ada tujuh karakter pimpinan ideal: jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, mampu bekerjasama, adil, dan mau berbagi (sharing) dengan orang lain. Bagaimana kualitas orang-orang yang diangkat jadi pimpinan di Indonesia ini, baik di instansi pemerintahan maupun swasta? Dalam banyak hal – tidak semua tentu saja – bangsa kita belum mampu mengangkat top notch people (orang-orang yang memiliki kemampuan, moral, dan mental prima) di jajaran pimpinan. Banyak orang yang duduk di kursi pimpinan tidak berbuat sesuatu yang berarti, bahkan tidak berbuat apa-apa. Want to be something but do nothing. Akibatnya proses pembangunan berjalan lamban dan malahan banyak yang salah arah (misleading). Makanya jangan heran kalau tahu-tahu kita sudah tersusul oleh kemajuan negara tetangga yang dulunya banyak belajar dari kita. Ya, memang banyak orang yang masuk dalam kategori “those who wonder what happen” duduk di jajaran pimpinan.

Apakah di Sini ada Pemimpin Visioner

Pemimpin Visioner untuk Dobrak Mental Pecundang


Kita hidup di masa transisi. Eranya sudah berbeda sama sekali. Sebagian besar pemimpin kita, adalah para pejabat, berusia 50-an. Orang muda di pemerintahan sangat sedikit. Sehingga, secara tidak langsung, sebagian besar dari kita masih terperangkap dalam cara berpikir masa lalu. Cara berpikir masa lalu pada zaman Soeharto adalah cara berpikir dalam lingkungan yang stabil, tidak ada gejolak, semua lebih bisa diprediksi. Dalam lingkungan stabil itu pejabat yang dilantik hampir selalu mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan dan ia akan meneruskan apa yang sudah dirintis oleh pendahulunya. Jadi mereka tidak menciptakan perubahan, hanya meneruskan.

Dunia saat itu juga bisa damai karena berada dalam era perang dingin. Masing-masing mengancam, tetapi menahan diri, jadi stabil. Teknologi juga revolusi industri, semua dikerjakan mesin saja. Begitu masuk era informasi, jarak mati, uang digital, informasi seketika ke mana-mana, tempat tidak mengandung makna lagi, selalu timbul gejolak. Ada orang dibunuh di Poso, seketika seluruh Indonesia tahu, ada gosip selebriti diperlakukan tidak layak oleh suami, timbul simpati seluruh ibu-ibu di Indonesia. Perasaan bergejolak cepat. Produk dengan cepat bergeser. Jika informasi tidak ditangani dengan baik, kekayaan dengan cepat bisa hilang begitu saja. Dalam situasi seperti itu dibutuhkan orang-orang yang bisa menciptakan masa depan dengan impian, bukan dengan fakta. Karena fakta belaka enggak bisa dipegang, harus bisa melihat ke depan. Orang-orang seperti itu, disebut orang- orang yang keliru, karena dianggap aneh, tidak mengacu pada masa lalu, tetapi meng-create sesuatu yang baru. Karena, dalam situasi seperti itu product life cycle jadi pendek (Jaya Suprana).

Dalam lingkungan yang stabil, desain organisasi hierarkis, rules-nya birokratik. Dalam lingkungan yang tidak stabil, tidak bisa lagi pakai hierarki, harus team work, harus ke samping. Tidak bisa pakai rules birokratik. Kontrol bukan lagi dengan absensi, angka kepatuhan, tetapi dengan result  (hasil). Anggaran juga masalah, sekarang ini anggaran satu tahun tidak bisa diubah, kecuali dengan kesepakatan DPR. Bagaimana pejabat baru dilantik harus bekerja dengan anggaran yang disusun oleh pejabat sebelumnya karena tidak bisa diubah, padahal visinya sudah tidak sama. Mekanisme anggaran selama ini juga belum pro-bisnis.

Banyak pengamat melihat hancurnya karakter bangsa dimulai sejak era Soeharto. Setelah beberapa kali pergantian rezim, kondisi juga belum banyak berubah. Apakah era Soeharto menimbulkan kerusakan permanen pada karakter bangsa yang tidak mampu mengantisipasi perubahan? Tidak adil juga menumpahkan seluruh kesalahan pada Soeharto. Kita semua salah. Soeharto berpikir begitu karena ia dibesarkan pada zaman seperti itu. Kita akan dipersalahkan lebih besar lagi karena kita tidak segera merespons pada zaman yang berbeda. Soeharto itu melewati dua zaman yang berbeda. Satu di zaman dia, satu di zaman orang lain yang seharusnya dia sudah enggak ada di situ. Dipersalahkan ketika dia masih berkuasa di zamannya orang lain.

Kita dipersalahkan kalau setelah era 1998 kita masih menggunakan cara berpikir era sebelumnya, hanya bisa mencaci maki, berorientasi ke masa lalu, mengharapkan stabilitas, baru bisa kerja. Kenapa investor enggak datang, dikatakan karena enggak stabil kondisi politiknya. Padahal sekarang ini di mana-mana kondisinya seperti itu. Amerika Serikat (AS) sendiri enggak stabil, pasar uangnya goncang, naik turun. Jadi gejolak itu tidak bisa dijadikan alasan. Harapan ada pada orang-orang muda yang mau berbuat, result-oriented, diberi otonomi dan keluasan ruang gerak oleh atasannya.

Rumus perubahan itu ada tiga:
Pertama, harus ada rasa tidak puas. Di Indonesia rasa tidak puas itu sudah meluas di mana-mana.
Kedua, ada pemimpin yang visioner, dan
ketiga, yakni proses yang jelas.
Proses yang jelas ini tidak sepenuhnya di tangan pemimpin, tetapi di tangan orang-orang pada layer kedua dan ketiga untuk menerjemahkan visi.

Renstra pembangunan misalnya, diciptakan oleh eselon satu dan dua. Visi tanpa rencana yang jelas cuma tinggal impian. Itu kelemahan orang kita. Kebanyakan cuma wacana, selalu bilang ”nanti”, padahal ”nanti” itu sudah jadi ”sekarang”. Akhirnya yang bikinin rencana itu konsultan-konsultan asing, padahal harusnya kita yang bikin. Setelah masalah perencanaan, pelaksanaannya juga tidak bisa lagi menggunakan rule and procedure di masa lalu yang birokratik itu. Kalau pola birokratik dulu, kita memberhentikan orang saja enggak berani. Kata Yohannes Surya, bibit unggul secara intelektual itu ada di mana-mana, bahkan sampai pelosok-pelosok daerah. Tetapi kenapa tidak juga muncul budaya unggul bangsa? Ada dua masalah besar, materialisme dan budaya mitos. Kalau kita cari orang pintar di Indonesia, termasuk yang pintar meniru, itu banyak. Tetapi masalahnya bukan cuma perlu pintar, tetapi juga wise, berkemampuan untuk berkomunikasi dengan baik. Plato bilang,
anyone can become angry, that’s easy. But to become angry to the right person, for the right reason, at the right time and at the right degree, that’s not easy.

Jadi banyak orang pinter tidak bisa mengelola spiritnya dengan baik. Entah dia minder, dalam perkuliahan, misalnya, terasa sekali, enggak berani ngomong. Begitu temen-nya ngomong, diledekin, dibilang kutu buku, justru dipandang jelek. Masyarakat kita tidak berorientasi pada karakter. Pendidikan di AS dari awal menekankan pada pentingnya karakter, bukan bertujuan untuk bikin orang jadi pinter. Kalau diadu sama Indonesia bisa saja kalah, tetapi inovatornya orang Amerika. Di sini bekerja dengan karakter tidak penting, yang penting adalah materi yang didapat. Kalau anak perempuan kita membawa temen laki-lakinya, yang ditanyakan pertama kali pasti apa pekerjaan bapaknya. Koruptor yang di media massa dibahas habis korupsinya, di bandara disambut di VIP lounge dan disalami banyak orang. Kita pun hanyut dalam situasi seperti itu.

Di Indonesia orang kaya dianggap segala-galanya. Orang kaya yang baik hati bisa ngasih proyek, jadi harus didekati. Perbankan saat itu juga membuat orang dianggap tidak bonafide kalau tidak berutang. Revolusi industri yang mengedepankan materialisme memang terjadi di mana-mana, tetapi di Indonesia kesenjangan pendapatan terlalu besar sehingga terjadi demonstration effect. Di negara maju policy-nya adalah middle class, yang berada di bawah di-create agar menjadi middle class sehingga gap yang kaya dan yang tidak, tak kelihatan. Bill Gate atau Michael Porter mobilnya cuma Altis, tidak terlalu mahal, mereka sopir sendiri. Malaysia perhatiannya juga pada middle class. Kalau miskin, disubsidi. Pendidikan gratis. Kalau sakit, rumah sakitnya sama antara yang miskin dan yang menengah ke atas. Kalau di Indonesia, bawa tas bermerek saja kelihatan beda sekali.

Negara-negara maju itu jual citra, termasuk Malaysia dan Thailand pun bisa jual citra di sini. Petronas Malaysia, restoran Thailand. Sebaliknya, kita tidak membangun citra, yang dibangun adalah citra murah yang lekat dengan kualitas rendah. Pricing produk dan jasa kita selalu kita taruh di bawah produk asing.

Stimulus apa yang dibutuhkan agar perubahan bisa terjadi?

Steven Covey muncul di daerah pemilihan Bill Clinton saat Clinton akan jadi presiden. Ketika itu semua orang di AS sedang hopeless, kalah bersaing, situasi yang mirip dengan kita sekarang. AS bisa keluar dari situasi itu, apakah Bill Clinton yang memimpin perubahan itu? Dia pakai Covey sebagai pembangkit inspirasi. Negara dan masyarakat perlu memberi ruang bagi pribadi-pribadi yang inspiring ini, antara lain melalui media massa. Acara di TV yang di desain untuk memberi inspirasi digeser mula-mula dengan lawakan, kemudian dengan cerita tentang setan.

Bagaimana pengalaman di negara-negara lain menciptakan budaya unggul?

Interaksi sejumlah faktor. Yang pertama etos kerja, saya ketemu seseorang di Jepang yang meneruskan bisnis usaha orangtuanya, padahal dia sudah sukses jadi bankir. Kata dia, karena ada kepercayaan kalau meneruskan usaha orangtua dapat pahala delapan kali lipat. Itu mitos yang ditanamkan dari generasi ke generasi, jadi mitos yang ada di sana tentang sikap positif seperti itu. Kalau di Indonesia mitos yang ditanamkan tentang kalau pindah rumah harus bawa tanah, jangan duduk di depan pintu nanti kemasukan setan, dan seterusnya.

Kedua, sikap keterbukaan yang menumbuhkan semangat persaingan yang sehat. Di AS, pengusaha-pengusaha yang sukses pendatang dari berbagai etnik. Malaysia juga berhasil. Di sini, bisakah bukan orang asli setempat jadi bupati? Berikutnya, ada gerakan pembaruan yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin visioner. Korsel punya Park Chung-hee, Singapura ada Lee Kuan Yew, Malaysia ada Mahathir. AS pun ketika itu bangkit karena ada Bill Clinton yang pro-bisnis. Sumber : Kompas , 24 Juli 2010

Diposting Oleh : Euis Tresna

Q LEADER

KEPEMIMPINAN sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Hal ini dikatakan dengan lugas oleh seorang jenderal dari Angkatan Udara Amerika Serikat:”I don’t think you have to be wearing stars on your shoulders or a title to be a leader. Anybody who wants to raise his hand can be a leader any time.”—General Ronal Fogleman, US Air Force.
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri inner peace dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati.
Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal leadership from the inside out. Ketika pada suatu hari filsuf besar Cina, Lao Tsu, ditanya oleh muridnya tentang siapakah pemimpin yang sejati, maka dia menjawab: “As for the best leaders, the people do not notice their existence. The next best, the people honour And praise. The next, the people fear, And the next the people hate. When the best leader’s work is done, The people say, ‘we did it ourselves”.
Justru seringkali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat encourager, motivator, inspirator, dan maximizer. Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin. Justru kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble). Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis, menjadi negara yang demokratis dan merdeka.
Nelson Mandela menceritakan bahwa selama penderitaan 27 tahun dalam penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam dirinya. Dia mengalami perubahan karakter dan memperoleh kedamaian dalam dirinya. Sehingga dia menjadi manusia yang rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya menderita selama bertahun-tahun. Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth Blanchard, bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Karakter Seorang Pemimpin Sejati
                Setiap kita memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin. Dalam tulisan ini saya memperkenalkan sebuah jenis kepemimpinan yang saya sebut dengan Q Leader. Kepemimpinan Q dalam hal ini memiliki tiga makna. 
Pertama, Q berarti kecerdasan atau intelligence (seperti dalam IQ – Kecerdasan Intelektual, EQ – Kecerdasan Emosional, dan SQ – Kecerdasan Spiritual). Q Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan IQ—EQ—SQ yang cukup tinggi. 
Kedua, Q Leader berarti kepemimpinan yang memiliki quality, baik dari aspek visioner maupun aspek manajerial.
Ketiga, Q Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki qi (dibaca ‘chi’ – bahasa Mandarin yang berarti energi kehidupan). Makna Q keempat adalah seperti yang dipopulerkan oleh KH Abdullah Gymnastiar sebagai qolbu atau inner self. Seorang pemimpin sejati adalah seseorang yang sungguh-sungguh mengenali dirinya (qolbu-nya) dan dapat mengelola dan mengendalikannya (self management atau qolbu management).
                Menjadi seorang pemimpin Q berarti menjadi seorang pemimpin yang selalu belajar dan bertumbuh senantiasa untuk mencapai tingkat atau kadar Q (intelligence – quality – qi — qolbu) yang lebih tinggi dalam upaya pencapaian misi dan tujuan organisasi maupun pencapaian makna kehidupan setiap pribadi seorang pemimpin.  Untuk menutup tulisan ini, saya merangkum kepemimpinan Q dalam tiga aspek penting dan saya singkat menjadi 3C , yaitu:
1. Perubahan karakter dari dalam diri (character change)
2. Visi yang jelas (clear vision)
3. Kemampuan atau kompetensi yang tinggi (competence)
Ketiga hal tersebut dilandasi oleh suatu sikap disiplin yang tinggi untuk senantiasa bertumbuh, belajar dan berkembang baik secara internal (pengembangan kemampuan intrapersonal, kemampuan teknis, pengetahuan, dll) maupun dalam hubungannya dengan orang lain (pengembangan kemampuan interpersonal dan metoda kepemimpinan). Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell: ”The only way that I can keep leading is to keep growing. The day I stop growing, somebody else takes the leadership baton. That is the way it always it.” Satu-satunya cara agar saya tetap menjadi pemimpin adalah saya harus senantiasa bertumbuh. Ketika saya berhenti bertumbuh, orang lain akan mengambil alih kepemimpinan tersebut.
EQ (emisional quentence) dalam Kepemimpinan  
Pada masa era reformasi sekarang ini mencari seorang pemimpin yang tepat memang tidak gampang. Hal tersebut disebabkan kebanyakan suplay tenaga profesional yang tersedia cenderung kurang siap untuk menjadi pemimpin yang matang. Kebanyakan para profesional kita, kalau pun punya pendidikan sangat tinggi sayangnya tidak didukung oleh pengalaman yang cukup. Atau banyak pengalaman namun kurang didukung oleh pendidikan dan wawasan yang luas.  Ketimpangan-ketimpangan tersebut bagi seorang pemimpin lembaga memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap keharmonisan dan kinerja dari perusahaan / organisasi. Dan seringkali para intelektual yang berpengalaman melupakan kecerdasan spiritual, hal tersebut akan menambah sulit lagi mencari tipe pemimpin yang mendekati sempurna.
Banyak pemimpin instant hasil kolusi dan nepotisme di lembaga-lembaga Indonesia yang sangat minim kesiapan, namun tetap saja dipakai demi kepentingan politik lembaga. Akibatnya, seperti banyak terlihat di negara ini, banyak pemimpin yang malah membawa lembaganya ke arah keruntuhan dan kebangkrutan dengan menelan banyak korban material bahkan jiwa. Meskipun demikian, tetap saja mereka memperkaya diri (tanpa merasa bersalah) dengan aset-aset lembaga bahkan pinjaman bank yang seharusnya dipakai untuk menyehatkan lembaga. Fenomena apakah yang terjadi atas para pemimpin atau pun profesional kita? Apa yang kurang atau belum dimiliki oleh para pemimpin lembaga atau pun organisasi kita sekarang ini? Apa rahasia keberhasilan para pemimpin yang sukses dalam arti sebenarnya?
Kecerdasan Emosional
Ada kalimat yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Patricia Patton, seorang konsultan profesional sekaligus penulis buku, sebagai berikut: ”It took a heart, soul and brains to lead a people…”
Dari kalimat tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki perasaan, keutuhan jiwa dan kemampuan intelektual. Dengan perkataan lain, “modal” yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin tidak hanya intektualitas semata, namun harus didukung oleh kecerdasan emosional (emotional intelligence), komitmen pribadi dan integritas yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai tantangan. seringkali kegagalan dialami karena secara emosional seorang pemimpin tidak mau atau tidak dapat memahami dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga keputusan yang diambil bukanlah a heart felt decision, yang mempertimbangkan martabat manusia dan menguntungkan lembaga, melainkan cenderung egois, self-centered yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok / golongannya sehingga akibatnya adalah seperti yang dialami oleh kebanyakan lembaga di Indonesia yang high profile but low profit !
Patton sekali lagi mengemukakan pendapatnya bahwa di masa kini lembaga tidak hanya membutuhkan pemimpin yang punya kapasitas intelektual. Sebab, yang membuat sukses lembaga atau organisasi adalah pemimpin yang bisa mendapatkan komitmen dari anggota, masyarakat serta manajemennya. Pemimpin seperti itu adalah mereka yang memahami anggotanya sepenuh hatii dan sanggup memacu anggotanya memenuhi persaingan global.  Singkatnya, pemimpin yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional.
Tipe Kepemimpinan
Daniel Goleman, ahli di bidang EQ, melakukan penelitian tentang tipe-tipe kepemimpinan dan menemukan ada 6 (enam) tipe kepemimpinan. Penelitian itu membuktikan pengaruh dari masing-masing tipe terhadap iklim kerja lembaga, kelompok, divisi serta prestasi keuangan lembaga. Namun hasil penelitian itu juga menunjukkan, hasil kepemimpinan yang terbaik tidak dihasilkan dari satu macam tipe. Yang paling baik justru jika seorang pemimpin  dapat mengkombinasikan beberapa tipe tersebut secara fleksibel dalam suatu waktu tertentu dan yang sesuai dengan kegiatan yang sedang dijalankan
Memang, hanya sedikit jumlah pemimpin yang memiliki enam tipe tersebut dalam diri mereka. Pada umumnya hanya memiliki 2 (dua) atau beberapa saja. Penelitian yang dilakukan terhadap para pemimpin tersebut juga menghasilkan data, bahwa pemimpin yang paling berprestasi ternyata menilai diri mereka memiliki kecerdasan emosional yang lebih rendah dari yang sebenarnya. Pada umumnya mereka menilai bahwa dirinya hanya memiliki satu atau dua kemampuan kecerdasan emosional. Namun yang paling ironi adalah pemimpin yang payah justru menilai diri mereka secara “lebih” berlebihan dengan menganggap bahwa mereka punya 4 (empat) atau lebih kemampuan kecerdasan emosional.
Apa yang Harus Dilakukan?
Oleh karena itu, saran bagi anda yang saat ini menjadi pemimpin atau minimal memiliki bawahan cobalah untuk mempelajari seperti apa tipe kepemimpinan anda. Selain itu cobalah untuk membuka diri untuk mau mempelajari tipe-tipe kepemimpinan yang lain. Namun sebelum itu,  Anda harus terlebih dahulu memahami kelebihan dan kekurangan anda sehubungan dengan gaya atau tipe kepemimpinan yang akan anda terapkan.
Jangan menyombongkan diri dahulu bahwa Anda seorang pemimpin yang baik. Bukalah mata hati anda lebar-lebar untuk mendengarkan ide, saran, keluhan atau pun pujian dari anggota, masyarakat dan pihak manajemen, sehingga apapun keputusan yang akan anda ambil dapat dipahami oleh semua pihak dan bersifat obyektif. Lakukan juga penilaian terhadap kinerja anda sendiri, apakah penilaian terhadap diri Anda itu benar-benar obyektif ? Untuk lebih mengetahui obyektivitasnya, bertanyalah pula pada anak buah yang bukan “anak emas” anda

MENGUJI VISI


Bagaimana kita bisa menguji apakah sebuah visi itu berasal dari Tuhan?


Jawaban yang paling mudah untuk pertanyaan ini tentu saja adalah dengan menguji apakah visi itu sesuai dengan isi Alkitab. Suatu visi yang berasal dari Tuhan tidak mungkin akan bertentangan dengan Alkitab. Apa yang dicantumkan dalam Alkitab merupakan patokan dan lingkar batasan dimana di dalamnya kita menemukan cara Tuhan memimpin kita.

Masalahnya sekarang bagaimana jika visi yang kita berada di wilayah abu-abu. Atau Alkitab tidak memberikan penjelasan secara gamblang dalam hal ini? Memang tidak semua hal ditulis dalam Alkitab secara jelas dan detail, tetapi Alkitab tetap memiliki prinsip-prinsip yang bisa menjadi patokan, yaitu:

SEMUA VISI YANG BERASAL DARI ALLAH, PASTI AKAN MEMULIAKAN TUHAN.
Janganlah melakukan apa yang tidak memuliakan Allah, meskipun tidak dilarang oleh Alkitab! Visi Kristen harus berada di dalam jalur kebenaran, kesucian, keadilan, dan cinta kasih yang merupakan sifat dari Allah sendiri. Hal-hal ini melingkari kita, sebagai batasan dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

VISI YANG DARI TUHAN BERGUNA UNTUK MEMBANGUN DAN MEMULIHKAN.
Segala sesuatu yang diberikan Tuhan berguna untuk membangun dan memulihkan. Sejak kejatuhan manusia kedalam dosa, Tuhan memiliki rencana besar yang bertujuan untuk memulihkan dan menyelamatkan ciptaan-Nya, oleh karena itulah setiap visi yang diberikan Tuhan baik kecil atau besar pasti akan bergerak selaras dengan tujuan utama Tuhan tersebut.

VISI YANG BERASAL DARI TUHAN TIDAK AKAN MELEBIHI ALLAH.
Jika visi yang Saudara kerjakan ternyata telah merebut tempat dimana Tuhan seharusnya bertahta, jangan perjuangkan visi itu. Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa kita tidak boleh terbelenggu oleh segala apapun yang kita kerjakan. Visi memang penting tapi yang jauh lebih penting untuk kita taati adalah Tuhan, dari mana sumber visi itu berasal.

Diringkas dari sumber:
Judul Buku : Mengetahui Kehendak Allah
Judul : Langkah-langkah Mencari Kehendak Allah
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit : Pusat Literatur Kristen Momentum, 1999
Halaman : 169 - 182

Blog Terkait

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...